Sabtu, 25 Juni 2011

Mahasiswa kehilangan pena


“Kritik Terhadap Kejumudan Berfikir Mahasiswa”
Katakanlah pada ibuku, aku pulang terlambat waktu,
ku akan menaklukkan malam dengan jalan pikiranku.
Katakanlah pada bapakku, aku mencari jalan atas semua keresahan ini,
Keresahan manusia. (Ost. Film Gie karya Erros)
Membaca cuplikan lagu di atas kita akan teringat salah satu tokoh pergerakan mahasiswa yang sempat difilmkan, yaitu Soe Hok Gie. Seorang mahasiswa yang sangat menjunjung tinggi idealismenya sehingga banyak menjadi perebutan organisasi mahasiswa saat itu. Sampai sekarang, ketokohannya sangat bersejarah dan mampu menjadikan angkatan tahun 1966 menjadi angkatan pergerakan yang sangat dibanggakann oleh bangsa ini.
Kita semua tahu bahwa mahasiswa menjadi sebuah magnet terbesar dalam setiap bentuk perubahan yang terjadi di dunia ini. Kaum yang bayak mendapatkan julukan ini tak hanya mampu menyumbangkan pemikiran, tetapi juga menjadi katalisator perubahan itu sendiri.
Sejarah telah mencatat dalam tinta emas bagaimana mahasiswa mampu mengemban amanat sebagai agen of change and sosio control. Di Indonesia sendiri, mahasiswa telah mulai menunjukkan kapasitasnya sebagai kaum penggerak ketika awal politik balas budi diterapkan oleh penjajah Hindia Belanda (tahun ). Bagaimana para mahasiswa STOVIA mampu memberikan warna baru bagi perjuangan kemerdekaan saat itu. Kaum intelektual yang bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada tahun 28 Oktober 1908 yang kemudian dijadikan Hari Kebangkitan Nasional, lebih memilih jalan kooperatif dan terstruktur dalam sebuah wadah organisasi dalam mencapai tujuan kemerdekaan dari pada jalan konfrontasi dengan kaum penjajah. Walaupun tentu semuanya ada sisi positif dan negatifnya.
Tentunya kita juga tahu bahwa kemerdekaann bangsa ini juga tak lepas dari peran mahasiswa dan pemuda ketika mereka ngotot dan menculik Bapak Soekarno dan Moh. Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia (peristiwa Rengas Dengklok pada tahun 1945). Masuk pada dekade tahun 60-an kemudian muncul lagi para penggerak perubahan dari kalangan mahasiswa. Dan yang lebih spektakuler dari perubahan yang dilakukan Mahasiswa setelah kemerdekaan adalah bagaimana mereka mampu menggulingkan Tahta Kerajaan Republik Presiden Soeharto (karena Soeharto berkuasa selama 32 tahun) yang banyak menimbulkan permasalahan sehingga muncullah revolusi bangsa yang kemudian memunculkan era baru, yaitu era reformasi.
Tentunya semua itu baru sedikit perjalanan yang mampu terekam dalam benak kita. Dan yang pasti, masih banyak terjadi di berbagai tempat yang mengalirkan hawa perubahan oleh gerakan mahasiswa pada masanya. Yang perlu kita tahu bahwa semua revolusi itu dimulai dengan kritik-kritik di media massa lewat tulisan-tulisan mahasiswa. Para mahasiswa memulai perjuangan dengan menulis diberbagai media cetak untuk menggugah kaum mahasiswa dan kaum lainnya agar tergerak hati dan memunculkan semangat juang untuk merubah peradaban sebuah bangsa dan Negara.
Awal revolusi pada tahun 1998, banyak kalangan masyarakat Indonesia yang tidak pernah berani mengusik kekuasaan Presiden Soeharto yang ditopang oleh kekuatan militer. Sehingga menjadi riskan dan terlalu beresiko untuk menyuarakan perubahan karena bisa jadi nyawa adalah  taruhannya. Dimulai dengan tulisan seorang Amien Rais yang saat itu berani menyatakan untuk menggulingkan Soeharto dari kursi Presiden-nya. Seakan tulisan tersebut menjadi motor penggerak dalam gerakan revolusi selanjutnya sehingga muncullah peristiwa revolusi 1998 dengan jatuhnya rezim Soeharto dan diganti dengan era reformasi. Sehingga akhirnya Amien Rais mendapatkan julukan sebagai Bapak Lokomotif Reformasi Indonesia.

Mahasiswa kehilangan PENA-nya.
13 tahun sudah terlewati pasca era ’98 yang menjadi tonggak perubahan reformasi Indonesia. Mahasiswa telah banyak terlena dan angin perubahan sudah menjadi barang langka kembali. Kaum intelektual ini menjadi kehilangan ghiroh untuk terus menyuarakan perubahan-perubahan sebagai bentuk aktualisasi diri dan sebagai jawaban akan status yang disematkan padanya, yaitu sebagai agen of change and agen of sosio control.
Lebih lokal di Bojonegoro, dari sekian ribu mahasiswa yang kuliah di Bojonegoro ternyata banyak sekali ketimpangan kalau kita bandingkan dengan berapa banyak mahasiswa yang mengaktualisasikan diri dan mewakafkan dirinya untuk perjuangan perubahan lewat organisasi mahasiswa maupun organisasi pemuda lainnya.
Miris memang kalau kita melihat keadaan yang seperti itu. Di Bojonegoro sendiri banyak organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda yang siap menampung dan mendidik para kaum intelektual tersebut agar menjadi kaum motor perubahan. Akan tetapi, kenyataannya tidak seperti yang kita bayangkan. Banyak mahasiswa yang lebih suka nongkrong di warung kopi sambil ngobrol ngalur ngidul tak tentu arah, melakukan aktifitas-aktifitas kesenangan lainnya dari pada ngumpul bareng untuk diskusi berbagai masalah bangsa atau mungkin ngumpul juga diwarung kopi dengan membicarakan hal-hal besar yang terjadi belakangan ini.
Saat-saat ini sudah jarang sekali kita mendengar mahasiswa melakukan protes sosial terhadap berbagai hal yang tentunya menjadi tidak sesuai dengan aturan dan cita-cita didirikannya bangsa ini. Kita jarang membaca protes dan kritik mahasiswa lewat media baik cetak maupun elektronik seperti yang dilakukan pendahulu-pendahulu kita. Ini adalah sebuah kemunduran yang sangat sulit untuk dengan cepat kita atasi.
Terlebih lagi, kita jarang melihat hasil karya tulis mahasiswa yang mampu menjadi penyeimbang dan kritik atas kejadian-kejadian yang ada di bangsa ini melalui media cetak (koran). Padahal, kita tahu bahwa banyak sekali media-media cetak yang telah dengan jelas memberikan wilayah khusus untuk semua orang agar bisa mengekspresikan dirinya melalui media tesebut, baik lewat opini, artikel, maupun yang lainnya. Bahkan terkadang hanya generasi tua lah yang selalu muncul mengutarakan ide-idenya. Lalu dimana mahasiswa yang mendapatkan julukan kaum intelektual itu? hanya kita, kaum mahasiswa-lah yang mampu menjawab ini. Sehingga kita tidak lagi kehilangan pena kita.

Dimulai dari Membaca
Teringat dari sebuah pelajaran awal mulanya Nabi Muhammad mendapatkan wahyu pada 5 (lima) ayat awal pada surat Al-Alaq. Yang intinya disitu adalah bagaimana kita harus membaca, membaca semua perubahan dan fenomena yang terjadi. Tentunya ketika kita aplikasikan sekarang adalah bagaimana mahasiswa mampu membaca dan mampu menuangkan dalam perubahan pada diri sendiri dan disekitar kita.
Tentunya butuh kemauan yang keras untuk menjadi seseorang yang mencintai budaya membaca. Bahkan terkadang ketika terlalu bangga dengan diri kita yang hanya suka menjadi pendengar dan tak ada niat untuk menjadi pembicara. Tentunya butuh banyak referensi ketika kita ingin menjadi pembicara yang hebat. Nah, membaca adalah jawabannya.
Dalam sebuah penelitian tentang budaya membaca yang dilakukan oleh UNESCO, Indonesia masuk nomor 37 dari 38 negara yang diteliti. Tentunya ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan ketika kita hanya peringkat kedua dari bawah. Inilah yang harus kita rubah dari sekarang.
Mengutip dari perkataan A’a Gym bahwa perubahan harus dimulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai sekarang juga. Tentunya akan menjadi penggugah semangat bagi kita bahwa kita tidak selamanya akan menjadi bangsa yang terpuruk dalam dunia membaca. Apalagi kita sebagai generasi Muslim seharusnya mampu menjadikan surat Al-Alaq tadi sebagai acuan bahwa kita harus membaca.
Sebagai penutup, ada perkataan Ali bin Abi Tholib yang sangat agung untuk kita masukkan ke dalam memori kita : ”Hikmah (ilmu) adalah milik orang islam yang tercecer, maka ambillah hikmah itu dimanapun ia berada walaupun dari orang kafir sekalipun”. Billahi fii sabilil haq, Fatabiqul khairot.W




W Oleh Rizal Muhammad (Mantan Ketua Umum IMM Bojonegoro periode 2009-1010)
 Dan Anggota Masyarakat Partisipasi Anggaran dan transparansi (M-Pati) Bojonegoro

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More